MENGENALI MASYARAKAT BUGIS DI NUSANTARA



Coretan pena : Jaafar Kelana Al Bugisi



Kediaman Daeng Serang di Makassar  Sul Sel


Orang Bugis ialah salah satu daripada berbagai suku bangsa yang ada di Asia Tenggara dengan populasi lebih daripada empat juta orang. Orang Bugis menempati bahagian barat daya pulau Sulawesi , dan termasuk rumpun keluarga besar Austronesia, sama hal nya dengan orang Melayu , Jawa, Bali , Sunda dan suku bangsa lain nya yang serumpun. Akan tetapi walau pun serumpun namun suku bangsa tersebut memiliki perbedaan baik bahasa , budaya mahu pun krakter yang dimiliki nya. Meski pun jazirah selatan daripada pulau Sulawesi sebagai sumber akar dan  kampung halaman nya , namun orang orang Bugis hidup berkembang biak dan menyebar cukup luas di Asia tenggara , terutama nya Malaysia dan Singapura.  

Sungguh pun apabila menyebut orang Bugis , maka perlu diperjelas orang Bugis yang mana ?. Sebab sering kali orang menganggap semua penduduk yang ada di wilayah Sulawesi Selatan adalah orang Bugis. Pada hal di Sulawesi Selatan mempunyai empat suku bangsa yang besar ia itu suku Makassar, suku Mandar, suku Toraja, dan suku Bugis itu sendiri. Hanya sahaja dikebanyakan literatur yang ada, kita terkadang menyebut Bugis sebagai suku bangsa yang ada di Sulawesi Selatan , sehingga menjadi " Ikon" dunia untuk penduduk Sulawesi Selatan. Kerana itu apabila menyebut suku bangsa Toraja misal nya merika menyebut nya " Bugis Toraja " untuk  suku Makassar merika menyebut nya " Bugis Makassar ", dan untuk suku Mandar merika menyebut " Bugis Mandar ". Sehingga penggambaran atau penyebutan Bugis akan meliputi keempat empat suku bangsa yang ada di Sulawesi Selatan. Keempat empat suku bangsa yang ada di Sulawesi Selatan ini , dikenal sebagai orang yang berkrakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan . Bahkan jika perlu demi mempertahankan kehormatan nya, merika sedia melakukan tindakan kekerasan . Namun demikian disebalik sifat keras itu , orang Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain serta sangat tinggi rasa semangat kesetiakawanan nya.





Menurut mitos yang berkembang di Sulawesi Selatan , sejak zaman purbakala manusia pertama di wilayah ini adalah yang disebut " Tomanurung " . Dan untuk yang pertama kali nya Tomanurung ini turun di daerah LUWU . Kerana itu menurut para sejarawan , kerajaan pertama di bumi Sulawesi adalah kerajaan Luwu. Daripada kerajaan tua itu lah lahir satu karya bertulis yang amat besar disekitar abad ke 12 yang dikenali dengan nama " Sureq Lagaligo " .  Hal ini sekali gus membuktikan bahawa orang Bugis juga memiliki tradisi kesusasteraan baik lisan maupun tulisan. Sureq Lagaligo merupakan naskah hasil perpaduan antara tradisi lisan dan sastera tulisan , yang naskah tulenekoran nya sekarang ini masih tersimpan di suatu perpustakaan yang ada di Univesiti of Leiden Nederland Belanda. Naskah tua ini diperkirakan lebih tebal dan panjang daripada naskah Mahabarata yang juga sangat terkenal di India. Salah satu keunikan naskah sureq La Galigo ini adalah ia ditulis diatas daun lontar dan berbahasa Bugis kuno berbentuk  syaer.

Kekayaan budaya masyarakat Bugis selain naskah Sureq La Galigo adalah peninggalan berbagai keris pusaka . Nama nama keris saperti Sambang, Toasi, Gecong, dan Tappi . Diperkirakan berasal dari kerajaan Bugis , dan sejak lama dikenal sebagai keris pusaka orang Bugis Makassar pada umum nya. Christian Perlas (1973) yang mengutip buku nya Tome Pires, seorang pengembara berbangsa Portugis yang pernah ke Indonesia sekitar abad ke 16 menceritakan tentang orang Bugis Makassar dilautan , yang dianggap nya sebagai bajak bajak laut . Lebih lanjut beliau mengatakan :

" Kepulauan Mencacar , terletak sekitar empat atau lima hari pelayaran meliwati pulau yang baru kita sebut Borneo. Ditengah perlayaran kalau kita dari Melaka ke Maluku .Penduduk pulau itu berdagang dengan Melaka, Jawa, Berunai,  Negeri Siam dan semua tempat yang terletak diantara negeri Pahang dan Negeri Siam. Tidak ada bangsa yang lebih menyerupai bangsa Siam , kecuali merika. Merika semua nya kafir , gagah dan suka berperang. Disitu banyak bahan makanan. Orang daripada pulau itu ialah perompak yang paling hebat diseluruh dunia . Kekuatan nya sangat besar dan kapal nya banyak. Merika belayar untuk merompak dari negeri merika sampai ke Pegu , Maluku, Banda dan di semua pulau disekitar pulau Jawa. Datang ke Melaka membawa barang jualan dengan kapal yang dinamakan Phinisi yang besar dan kukuh dibuat dengan baik . Merika membawa banyak makanan , beras yang putih sekali dan sedikit emas. Merika pula membawa pulang kain bertanggi , kain daripada Cambay dan sedikit daripada Benggala serta Benua Keling. Juga membawa lubbana jawi dan dupa. Pulau ini ramai penduduk nya , banyak daging nya dan perbekalannya melimpah limpah. Orang nya semua memakai keris dan kuat kuat belaka. Merika belayar kesana kemari dan ditakuti dimana mana".










                                          Istana Balla Lampoa Gowa Sul Sel


Keris didalam masyarakat Bugis Makassar adalah merupakan satu simbol  , sekali gus status kepada pemilik nya. Walau pun etnik Bugis Makassar sudah sejak lama menganut ugama islam ia itu disekitar abad ke 17 dengan masuk nya Raja Tallo yang merangkap mangkubumi kerajaan Gowa yang bernama I Mallingkang Daeng Mannyori Karaeng Tumenanga ri Bontobiraeng  (Sekitar tarikh 22 september 1605 atau ketepatan dengan tarikh 9 jamadil awal 1014 h ). Yang tercatat didalam Lontara Patturioloanga ri Togoaya maupun Lontara Bilanga . Namun demikian tak bolih mengurangi penghormatan merika keatas keris . Hal ini dibuktikan dengan ada nya beberapa perundingan atau pun pertemuan Raja Raja Bugis Makassar yang apabila seseorang Raja tak dapat  menghadiri  majlis tersebut , maka beliau akan digantikan dengan keris pusaka kerajaan sebagai wakil.                                                                             
MAKNA DAN FUNGSI KERIS DALAM MASYARAKAT BUGIS

PROSES PEMBUATAN KERIS DAN TATA CARA PERLAKUAN NYA

Jika diperhatikan sejarah pembuatan senjata tajam di Sulawesi Selatan , termasuk keris dan badik , bolih dijelaskan bahawa peleburan besi hanya terbatas didaerah pergunungan yang kaya dengan besi. Dalam usaha penempahan besi cukup banyak dilakukan olih orang Bugis yang mendiami daerah daerah pergunungan. Salah seorang Raja Bone yang kedua , merupakan tokoh setengah mitos dan bergelar " Petta panre bessie, (Tuan yang pandai besi). Ada sebuah landasan penempahan yang dianggap sebagai milik sang Raja masih disimpan diantara benda benda pusaka kerajaan Bone. Dipantai barat , ada pula suatu lokasi di gunung Aruang sekitar daerah Bacukiki yang dianggap sebagai cikal bakal daerah penempahan logam, demikian pula daerah Massepe yang sampai saat ini masih menjadi daerah yang dikenal sebagai pusat penempahan logam di Daerah Bugis.

Tradisi lisan masyarakat  Sulawesi Selatan bercerita tentang sebuah landasan keramat yang diturunkan daripada langit  (Ianraseng Manurung ) , dan tentang " Panre Baka  (pandai besi baka) " yang dianggap daripada Sangalla Toraja, yang mula mula pindah ke Bone lalu pindak ke Sidenreng atas undangan Raja. Cerita tersebut mengandungi tiga hal penting yang menjadi ciri khas pengolahan besi dikalangan orang Bugis Makassar. Pertama, konotasi sakral nya, kedua , Toraja yang dianggap sebagai asal muasal kepandaian orang Bugis dalam hal pengolahan besi . Dan ketiga, perhubungan erat diantara pandai besi dengan penguasa kerajaan. Ada dua hal yang menyebabkan penguasa kerajaan berkepentingan untuk menguasai para pandai besi. Pertama , hasil kerajinan besi saperti kapak  (uwase), parang (bangkung), pisau (piso), sabit (kandoa), sudu tanah (pattora subbe), cangkul (bingkung), dan mata bajak (sui ) ini semua merupakan peralatan penting untuk mengembangkan dan memajukan bidang pertanian yang menjadi sumber mata pencarian penduduk , sehingga bolih dikatakan bahawa para pandai besi ikut pula menentukan kehidupan dan kemakmuran penduduk daripada suatu pemerintahan atau kerajaan. Kedua, hasil kerajinan besi saperti pedang (Alameng kalewang), keris (Gajang tappi), badik (kawali), mata panah sumpit (ana' pana), dan mata tombak (mata bessi) merupakan alat alat persenjataan yang sangat penting dalam peperangan dan sangat diperlukan olih pihak kerajaan untuk mempertahankan wilayah pemerintahan atau pun kekuasaan nya.

Pada abad ke 18 hingga abad ke 20, seorang laki laki Bugis baru dianggap  "berpakaian lengkap " apabila ia memakai senjata tajam saperti keris, badik , pedang, atau pun tombak. Hal ini terjadi sebab menurut pandangan orang Bugis Makassar , setiap jenis senjata tajam terlebih khas keris dan badik memiliki kekuatan sakti , apa lagi keris atau pun badik tersebut dibuat olih penrita yang mempunyai kesaktian. Kekuatan ini dianggap bolih mempengaruhi kondisi , keadaan dan proses kehidupan pemilik nya. Seumpama pemilik nya bolih memperolihi ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran , atau bahkan sebalik nya bolih mendatangkan kemelaratan, kemiskinan dan penderitaan kepada yang menyimpan nya. Manakala ada ketidak cocokan antara sipembawa keris atau pun badik tersebut dengan krakter orang yang menyimpan keris atau pun badik itu.


                                               Tana Toraja

Proses pembuatan keris dikalangan masyarakat Bugis Makassar dilakukan olih Panrita keris. Keris tersebut dibuat didalam suasana ritual, sebab merika mempercayai manakala ada keris yang dibuat tanpa proses upacara ritual , maka keris tersebut tidak mempunyai pamor , sehingga keris tersebut dianggap sama sahaja saperti pisau di dapur.
                                               
Pembuatan sebilah keris umum nya selesai  dengan menghabiskan masa selama tujuh hari , akan tetapi proses pembuatan nya hanya dilakukan pada hari jumaat , maka ini bermakna satu keris dengan pamor yang diharapkan akan selesai dalam tujuh hari jumaat , atau bermakna memerlukan masa  49 hari ( 7 minggu).

Selama berlansung nya pembuatan keris , seorang Penrita keris terus menerus berzikir dan berdoa kerana dengan zikir dan doa ini diharap keris yang dihasilkaan akan mempunyai getaran  "Zikrullah " . Itu lah sebab nya pembuatan keris tradisional Bugis sarat dengan unsur unsur magis yang memerlukan ritual khusus. Panrita keris selalu dianggap mempunyai kekuatan luar biasa, kerana itu sebilah keris yang dihasilkan olih pembuat nya memiliki getaran yang tampak jelas dianggap sangat berbisa  (Mamoso) , dan mempunyai pamor atau aurah yang besar, sebab getaran tersebut merupakan bekas sidik jari daripada panrita keris yang menempah dan meraut nya dengan tangan telanjang. Dan telah sebilah keris selesai dibuat lengkap dengan warangka atau sarung nya , maka proses memasukan keris tersebut kedalam sarung nya juga di ikuti olih suasana ritual ia itu si pembuat keris tersebut masih terus menerus berzikir  dan dikucup barulah di sarungkan. Kemudian keris tersebut biasanya diletakan ditempat tertentu yang dianggap aman dan mudah dikontrol olih si pembuat atau sipemilik keris. Pada saat akan mengeluarkan keris dari sarung nya , juga dilakukan dengan suasana ritual , dimana sipemilik setelah menghunus atau mengeluarkan keris daripada sarung nya , dia lansung mengucup keris baru lah dikeluarkan. Pada  masa tertentu biasa nya keris  atau pun badik akan dicuci dengan menggunakan limau nipis , ini dipercayai bolih menambahkan bisa (Moso) kepada keris atau badik tersebut.

MAKNA DAN FUNGSI KERIS

Koleksi artifak pusaka galeri Tok Kepau







Keris didalam bahasa Bugis disebut " Gajang atau Tappi " dan dalam bahasa Makassar disebut "Seleq". Fungsi keris diwilayah Bugis Makassar berbeda dengan senjata tajam lain nya termasuk " Badik ". Penikaman , pembunuhan dan tindak kekerasan lain  nya dikalangan orang Bugis Makassar umum nya berkait erat dengan penggunaan badik. Badik adalah sebenarnya pisau yang bersarung bentuk nya lebih pendek daripada keris. Tidak mempunyai lok . Badik pada umum nya lebih mudah diperolihi dikalangan orang awam etnik Bugis Makassar , sementara keris pula biasa nya hanya dimiliki olih orang orang tertentu sahaja misal nya keturunan bangsawan , kolektor keris dan Bissu.

Dikalangan orang Bugis Makassar , keris (Kawali atau pun Seleq) sebenarnya tidak dimaksudkan untuk dijadikan alat berkelahi , melukai atau pun membunuh orang , melainkan untuk kesejahteraan , perdamaian dan pembelaan diri atau keselamatan. Kerana itu setiap keris mempunyai aura atau pamor . Aura atau pamor keris ini tercipta dengan sendirinya setelah keris selesai dibuat olih seorang penrita keris . Aura atau pamor ini lah yang menentukan keampuhan atau kekuatan daya magis sesebilah  keris.

Masyarakat Bugis Makassar mempercayai, ada beberapa keris jenis sambang yang daripada aura nya itu membuatkan binatang buas   tak berani mendekati. Inilah keris yang pamor nya untuk "Tolak bala" . Ada pun keris yang tergulung dari jenis Toasi , yang sesuai dimiliki olih para pedagang , saudagar atau pengusaha sebab  aura nya diyakini berkaitan dengan perolihan rezeki, mendatangkan kesejahteraan , dan ketenteraman hidup. Untuk digunakan dalam menjaga rumah jenis keris "Tappi " , dipercayai sangat sesuai  sebab keris jenis ini aurah nya bolih menolak kehadiran perompak , juga bolih menolak bahaya kebakaran , bahkan pemilik nya selalu didalam kondisi tertolong dan dicintai olih orang lain. Kerana itu jenis keris ini bagi orang Bugis Makassar dianggap sesuai untuk digunakan jika seseorang hendak mengadap seseorang yang mempunyai kedudukan yang diharapkan pertolongan nya.

Keris lain nya ia itu jenis " Gecong " , berasas kan sejarah pembuatan keris jenis ini pertama kali dibuat darripada daun nipah yang olih penrita keris di lurut dengan tenaga supranatural sehingga mengeras menyerupai besi . Ini lah jenis keris yang paling nipis dan berbau harum. Jenis keris ini lah biasa nya digunakan olih Raja Raja . Aura atau pamor daripada keris jenis ini adalah  untuk menjadi pemimpin.

Ada beberapa keturunan Raja Raja di Sulawesi Selatan yang beranggapan bahawa keris pusaka nya ada lah saudara kembar yang setia sehingga tak bolih berpisah dengan nya , sekali pun sipemilik nya tidur. Anggapan semacam ini juga berkembang dikalangan masyarakat Bugis Makassar , sehingga hampir semua orang Bugis Makassar paling sedikit memiliki sebilah senjata tajam baik keris atau pun badik. Bahkan banyak askar keamanan  (tentera atau polis ) yang merasa lebih aman dengan keris atau badik yang dimiliki nya daripada senjata api yang ada pada nya. Hal ini berasaskan satu perinsip bahawa membela kehormatan diri dan keluarga adalan suatu yang bersifat hakiki. Tak ada pilihan lain untuk menghindar daripada satu tanggung jawab moral dalam membela kehormatan diri dan keluarga. Apabila orang tersebut tak mau dicap sebagai orang yang lari daripada ketentuan adat tersebut atau digelar " Kawe kawe, ballorang/ pelloreng, tena siri' na/ de' gaga siri' na". Semua hal ini adalah suatu kenyataan sosial yang berlaku umum dalam kehidupan adat didalam dunia empiris orang bugis Makassar.

Bagi orang Bugis Makassar jika anak nya hendak merantau , maka yang biasa nya menjadi bekal bukan wang ringgit yang jumlaah nya banyak, melainkan ia nya dibekali sebilah keris atau pun badik . Hal ini dimaksudkan agar sang anak tersebut jika diperantauan menemui permasaalahan , maka sebalik nya ia tidak lari daripada permasaalahan itu tetapi harus meghadapi apa pun resiko nya termasuk mati sekali pun , kerana itu bagi perantau perantau Bugis Makassar mengenai pepatah " Lebih baik mati berkubang darah daripada pulang membawa malu ".

Dalam kehidupan Orang Bugis Makassar  " Siri " merupakan unsur yang sangat asas dan prinsipil dalam diri merika. Tidak ada satu nilai apa pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan dimuka bumi ini selain daripada " Siri " . Bagi orang Bugis Makassar  "Siri " adalah jiwa merika , harga diri merika dan mertabat merika. Sebab itu untuk menegakan dan membela "Siri" yang dianggap tercemar atau dicemarkan olih orang lain , maka orang Bugis Makassar bersedia mengorbankan apa sahaja termasuk jiwa nya yang paling berharga demi tertegak nya " Siri " dalam kehidupan merika.

Orang Bugis Makassar dalam usaha untuk menegakan harga diri atau mertabat keluarga, sama sekali tidak memikirkan besar nya resiko sebagai ekoran daripada pengujudan tindakan yang dilakukan nya itu. Didalam masyarakat Bugis Makasar telah hidup atau tertanam suatu ungkapan yang terkenal ia itu  " Ejatompi nadoang ", ertinya: setelah berwarna merah baru lah terbukti udang. Yang dimaksudkan dengan ungkapan tersebut adalah bahawa resiko dalam menegakan "Siri " tak perlu difikirkan ekoran nya terlebih dahulu , soal ekoran adalah urusan nanti. Apakah nyawa sendiri akan hilang , akan dihukum puluhan tahun , atau munkin akan dijatuhkan hukuman mati , itu bukan lah masaalah yang perlu difikirkan , tetapi yang penting " Siri " harus ditegakan. Apa pun ekoran nya harus dilaksanakan. Setelah tugas menegakan siri terlaksana , baru lah diketahui ekoran atau resiko itu. Dalam pengertian " Baru lah terbukti udang ".

Dalam uraian tentang siri Prof Dr Matullada mendeskripsikan suatu ungkpan yang menggambarkan suatu hubungan antara adat dengan siri ia itu  " Utettong ri - ade ' e najagainnami siri' ku ( erti nya: saya taat kepada adat , kerana menjaga siri ku , ) Ungkapan lebih lengkap saperti berikut ini:

Siri' emmi ri onroang ri lino
Utettong ri ade' e
Najagainnami siri' e
Naia siri'e sunge naranreng
Nyawa nakira-kira

Ertinya:

Hanya untuk siri kita hidup didunia
Aku setia pada adat
Kerana dijaga nya siri kita
Adapun siri jiwa imbalan nya
Nyawa perkiraan nya

Berkait erat dengan pendeskripsian diatas, maka salah satu alat untuk menegakan harga diri atau martabat keluarga adalah senjata pusaka yang berupa senjata tajam keris atau pun badik. Kerana itu keris atau pun badik dikalangan orang Bugis Makassar adalah untuk kesejahteraan , perdamaian , pembelaan diri dan keselamatan.

La Galigo banyak memuat tuntutan penting bagi kehidupan masyarakat Bugis . Tentang siri atau harga diri misal nya , diajarkan agar tak mudah bagi orang Bugis Makasar untuk mengeluarkan keris dari sarung nya . Jika ada suatu masaalah yang dihadapi , sebelum nya beberapa kali dengan berbagai cara diupayakan untuk perbincangan menyelesaikan nya. Jika sudah tiada lagi jalan keluar , baru lah keris ditarik keluar dari sarung nya . Sekali keris dihunus , tak bolih disarungkan semula sebelum keris tersebut dipergunakan. Pada masa dahulu dikalangan orang Bugis Makassar jika keris sudah dihunus dan tidak digunakan atau ditikam kan kepada musuh , maka keris tersebut hendaklah ditikam tikam kan kebatang pisang. Berlainan dengan kondisi sekarang ini yang sering kali terjadi , belum apa apa , jika ada suatu masaalah , lansung keris dihunus. Hal yang semacam ini sungguh tidak tepat.


Prof Norhayati Rahman dari Univasitas Hasanuddin Makasar ke galeri UGIK pada tahun 2014









            

Prof Dr Halilintar Latief dari Sulawesi Selatan berkunjung Ke galeri UGIK pada tahun 2014








Mesyuarat penubuhan Warisan Sejarah Kerajaan Riau - Lingga di Hotel La Guna Tanjung Pinang Kepulauan Riau  tahun 2015










          Bersama Prof Andi Ima Kesuma di Univesitas Hasanudin Makasar




              Bersama Dr Suriadi Mappangara Makasar




                   Bersama Andi Muzaffar Makasar




                               
    Benting Ford  Raterdam Makasar









     
                                      Benting Somba Opu Makasar
                               
   
 









Sumber:
Dr Muslimin Machmud Univesitas Muhamaddiah Malang Jawa Timur

0 comments:

Post a Comment